Sindikat pemalsu vaksin balita mengantongi puluhan juta rupiah setiap pekannya. Sindikat tersebut telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Vaksin palsu itu dijual dengan harga miring. Harga lebih murah inilah yang diduga menjadi alasan vaksin palsu tersebut cukup laku di pasaran.
Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya, polisi menangkap 13 orang anggota sindikat dengan peran berbeda-beda. Kepadadetikcom, Agun membeberkan peran 13 orang itu. S dan I bertugas mengumpulkan botol bekas vaksin. Sedang SU dan SA perannya membuat dan mencetak label dan logo vaksin palsu.
Sementara R, G, dan SN membuat vaksin. Vaksin palsu ini lalu dijual oleh T, S, F, J, A, dan AB yang beperan sebagai distributor. "Keuntungan sebanyak 100 juta rupiah untuk pembuat dan 80 juta rupiah untuk distributornya," kata Agung, Jumat (24/6) seperti dikutip dari Koran Jakarta.
Para tersangka telah ditahan di Rumah Tahanan Bareskrim Polri. Mereka dijerat dengan Undang-Undang tentang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan terancam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ketua Ikatan Dokter Ana Indonesia (IDAI) DR.Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K) menilai pelaku jeli melihat peluang. Sebab, beberapa produk yang dipalsukan itu sempat langka di pasaran. Lima vaksin itu adalah Tuberkulin, Pediacel, Tripacel, Havrix, dan Biocef.
"Havrix itu isinya Hepatitis A, harusnya diberikan di atas dua tahun. Dan memang ada kelangkaan sekarang," kata Aman seperti dikutip Liputan6.com.
Pediacel yang merupakan vaksin impor dan pernah kosong di pasaran tetapi sekarang sudah ada lagi berisi kombinasi PBT, HIB, dan Polio. "Mereka juga melihat ada kesempatan di nama yang satu ini," kata Aman.
Demikian dengan vaksin Tripacel yang berisi BPAT, yang sebetulnya sudah dimiliki oleh Bio Farma. Tripacel ini masuk ke dalam program pemerintah bersama vaksin Pediacel. "Ini juga pernah ada kelangkaan di pasar," ujar Aman.
Agung menjelaskan, pelaku yang berperan sebagai produsen, kebanyakan merupakan lulusan sekolah apoteker. Namun, mereka tidak menerapkan standar yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan dalam memproduksi vaksin itu. Misalnya, cairan yang digunakan bukanlah cairan yang seharusnya menjadi bahan baku vaksin.
Polisi kini tengah menyelidiki apakah ada oknum dari rumah sakit, puskesmas, atau klinik kesehatan yang turut terlibat dalam sindikat tersebut atau tidak. Dari penyelidikan Bareskrim Mabes Polri, ada empat rumah sakit dan dua apotek yang diduga menjual vaksin palsu.
Empat rumah sakit itu lokasinya di Jakarta. Menurut Agung, keterlibatan rumah sakit itu bukan kelembagaan. Tapi oknum. "Iya (sifatnya oknum)," kata Agung Setya yang dimuatDetikcom.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto, empat rumah sakit di Jakarta yang mengedarkan vaksin palsu adalah rumah sakit swasta. "Kemungkinan di RSUD sangat kecil karena langsung dari dinas (kesehatan)," kata Koesmedi kepada CNN Indonesia.
sumber : beritagar.id